Intan suci nurhati: menyingkap sejarah alam dari karang

Play all audios:

Karang itu adalah _beauty_ dan _brain_. Cantik dan pintar, demikian ucap peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Intan Suci Nurhati. Masih sering disalahpahami sebagai batu
semata, karang adalah makhluk hidup yang mampu menyimpan arsip penting yang berhubungan dengan alam, tidak hanya tentang laut, tetapi juga Bumi tempat manusia tinggal. “Terumbu karang adalah
buku sejarah, seperti pohon. Kalau kita belah pohon, akan muncul garis-garis pohon, serupa dengan karang. Kalau kita analisis, kita bisa tahu pada tahun apa, bulan apa, temperatur seperti
apa, curah hujan seperti apa, bagaimana pengasaman lautnya?” katanya. Sekarang ini, Intan merupakan satu dari segelintir peneliti paleoseanografi yang mempelajari laut dari masa lampau untuk
merekonstruksi karakternya) dan paleoklimatologi yang mempelajari iklim dari masa lampau untuk melihat implikasinya terhadap ekosistem bumi di Indonesia. Intan menekuni kegiatan utamanya,
yaitu merekonstruksi iklim dan keadaan laut Indonesia, yang luas lautannya hampir 62% dibandingkan daratan dan nenek moyangnya yang konon adalah pelaut, dengan menggunakan karang. Dengan
memasang alat-alat yang berfungsi untuk mengamati perubahan temperatur dan kandungan oksigen laut di laboratorium alam di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). “Pemikirannya sih jangan melihat
ini untuk riset semata karena kalau hanya untuk riset, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menghasilkan data. Tetapi ini kita buka untuk masyarakat, datanya kita bagikan ke mereka. Di
Lombok itu kan ada budidaya mutiara dan ada taman nasional juga. Jadi, misalnya ada data yang menginformasikan terjadi pemanasan laut, pihak taman nasional bisa mengantisipasi jika terjadi
_coral bleaching_ (hilangnya warna karang),” katanya. Selain itu, salah satu karya terbaru Intan adalah temuannya tentang karang di Kepulauan Seribu, Jakarta. Temuan Intan menunjukkan
bagaimana karang di ujung Jakarta itu mengalami pertumbuhan yang cepat, sampai-sampai melewati ambang batas kemampuan menyerap nutrien atau hara (makanan) pada biasanya. “Jadi karangnya
cenderung tinggi dan keropos. Seperti tulang manusia yang mengalami _osteoporosis_ [kondisi berkurangnya kepadatan tulang]. Ini dikarenakan tingginya zat hara yang ada di habitat karang
tersebut,” katanya sembari menambahkan bahwa penelitiannya masih dalam proses revisi. “Karang ini mengalami _eutrofikasi_ [pencemaran air yang disebabkan oleh nutrien berlebih dalam
ekosistem air]. Harus jadi perhatian pemerintah setempat karena rencananya kan wisata bahari akan digalakkan di kawasan Kepulauan Seribu. Ini butuh solusi lokal untuk menjaga keseimbangan
ekosistem laut.” KONDISI KARANG DI INDONESIA SECARA UMUM Kondisi karang sangat tergantung pada perilaku manusia yang tinggal di sekitar laut. Jika masyarakat memiliki kesadaran untuk menjaga
dan tidak merusak terumbu karang, biasanya karang masih dalam keadaan sehat dan bisa berfungsi untuk mengambil data. “Di Lombok misalnya, dekat kantor kami, ada perbedaan kondisi di arah
barat hingga selatan. Berbeda sekali, semuanya terkait dengan tingkat kepedulian dan perilaku masyarakat desa,” katanya. Perempuan kelahiran Jakarta 1980-an ini merampungkan studi
doktoralnya di Institut Teknologi Georgia, Amerika Serikat setelah sebelumnya menyelesaikan gelar sarjana dalam bidang Pendidikan Ekonomi dan Ilmu Lingkungan dan Kebumian di Universitas
Wesleyan, di negara bagian Connecticut, Amerika Serikat. Berbekal disiplin ilmu yang dimilikinya, Intan fokus pada upaya mengkaji jejak perubahan iklim dan lautan yang meliputi penampakan
peningkatan suhu, meningkatnya kadar garam, dan pengasaman laut. Intan mempelajari komposisi geokimia terumbu karang dan dari studinya ini, salah satu data yang dihasilkannya adalah
informasi tentang kondisi perairan dari masa ke masa yang bisa digunakan untuk memprediksi dampak perubahan iklim. Intan bergabung dengan LIPI pada 2016, institusi di mana dia menemukan
iklim penelitian ilmiah yang berbeda. Sebelumnya, Intan mengaku bahwa ia fokus pada _“science for science”_ tetapi di LIPI, Intan melihat bagaimana temuan ilmiah harus bersinergi dengan
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Sederet penghargaan dari dalam dan luar negeri sudah diraih Intan, yang merupakan pengakuan akan ketekunan, dedikasi dan sumbangsihnya pada ilmu
pengetahuan. Sebut saja di antaranya adalah _LIPI Young Scientist Award_ (LYSA) yang disabetnya pada 2018 atas penelusurannya atas kondisi laut bertahun-tahun silam, lalu _Green Talents
Award for International Forum of High Potentials in Sustainable Development_ dari Kementerian Pendidikan dan Riset Pemerintah Federal Jerman pada tahun 2013. Saat inipun, Intan menjadi
satu-satunya orang Indonesia yang duduk dalam panel ahli perubahan iklim antar pemerintah atau _Intergovernmental Panel on Climate Change_ (IPCC) dalam Kerangka Kerja Konvensi Perubahan
Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau yang disebut sebagai _United Nations Framework Convention on Climate Change_ (UNFCC)_. Panel yang penting ini bertugas untuk menyusun skenario
berdasarkan temuan-temuan ilmiah dalam menghadapi risiko dan dampak dari perubahan iklim. BELAJAR DARI KEGAGALAN Kebanyakan orang akan menganggap titik balik mereka yang paling penting
adalah ketika mereka mencapai suatu keberhasilan. Namun, Intan berbeda. Dari kegagalan atau ketidakberhasilan, peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI ini mengambil pelajaran
berharga, memperbaikinya, dan mengeksekusi rencana yang lebih baik. “Ekspedisi ngebor terbesar pertama saya adalah ekspedisi tergagal saya. Itu bisa dibilang _everything went wrong_
[semuanya gagal],” katanya. Setelah persiapan hampir satu tahun, pembimbingnya hamil sehingga tidak bisa ikut dalam ekspedisi, kapal yang dipesan kekecilan lalu bandara tempat tujuan sempat
ditutup untuk beberapa saat. “Dan sampai di tempat tujuan pun ternyata tidak ada karang yang bisa dieksplorasi karena terlalu kecil.” Ekspedisi di Kiribati itu dilakukan pada 2008. Memang,
banyak faktor yang terjadi di luar kuasa Intan, tetapi efek kegagalan ini cukup besar sehingga sempat membuat Intan nyaris putus asa. “Ini ekspedisi terpenting saya,” “Tapi profesor saya
mengingatkan ‘kalau ekspedisi ini mudah, semua orang bisa melakukan. Bukan begitu?’” kata Intan. _“If it’s easy, everybody would have done it_ [jika gampang, semua orang pasti sudah
melakukannya],”_ Intan menirukan kalimat profesornya yang selalu terngiang di pikirannya hingga saat ini. Benar saja, sejak kegagalan tersebut pintu kesempatan masih terbuka dan membawa
Intan ke ekspedisi demi ekspedisi, dengan persiapan yang jauh lebih baik. “Termasuk _anger management_ [mengelola emosi] dan tidak cepat putus asa,” tambahnya. Meneliti karang di bawah laut
sebenarnya juga bukan cita-cita pertamanya. Sejak kecil, Intan tertarik dengan dunia arsitektur. Dia gemar menggambar teknik dan konsisten menumbuhkan kecintaannya ini. Mengambil jurusan
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Sekolah Menengah Atas (SMA), ada fenomena alam yang melekat di benak Intan. Di akhir 1990-an, Intan menyaksikan perubahan besar terjadi di sekelilingnya. Di
tanah air terjadi gejolak politik dengan bergeraknya gerbong reformasi, krisis moneter berkepanjangan. Bersamaan itu ada kejadian-kejadian luar biasa di alam semesta. “Waktu itu banyak
kebakaran hutan, di Jakarta saja sampai terasa udara yang panas. Musim kering yang panjang.” Itu semua disebabkan oleh ENSO atau _El Nino Southern Osciliation_. Ini merupakan fenomena alam
berupa fluktuasi suhu muka laut di sekitar bagian tengah dan timur ekuator Samudera Pasifik yang berinteraksi dengan perubahan kondisi atmosfer di atasnya. Fenomena ini terdiri dari tiga
fase, yaitu El Nino, La Nina dan netral. ENSO adalah kata yang sangat mengena di benak Intan. “Lebih mengejutkan lagi setelah tahu kalau ENSO ini sebuah siklus yang seharusnya bisa
diantisipasi sebelumnya. Dari situ saya penasaran, tapi belum kepikiran untuk jadi peneliti,” imbuhnya. Lulus SMA, Intan ternyata mantap memilih belajar ekonomi karena tertarik dengan dunia
moneter. Di kampusnya Universitas Wesleyan, setelah dua tahun ada keharusan untuk mengambil kelas-kelas di luar Sains Kemasyarakatan (_Social Science_). Intan pun memutuskan untuk mengambil
kelas Sains Bumi (_Earth Science_). “Nah di situ _everything makes sense_ [semuanya jadi masuk akal]. _Earth Science_ ini membutuhkan orang yang kuat di IPA tetapi juga secara holistik untuk
bisa menjawab hal-hal penting untuk masyarakat di bidang lain, gempa, gunung berapi.” “Saya _kecemplung_. Ambil satu kelas, lalu satu kelas lagi dan seterusnya.” Hingga sampai pada kelas
geokimia. Pada hari pertama, Intan masuk ke kelas, dan profesornya membuka kelas dan mengatakan bahwa hari itu mereka akan membicarakan tentang “Bagaimana karang di Indonesia menjadi arsip
alam untuk gempa bumi.” “ENSO pun terdengar lagi di kelas ini […] langsung saya yakin bahwa saya akan ambil jurusan ini,” katanya. Arti menjadi seorang peneliti bagi Intan adalah bagaimana
memanfaatkan keilmuannya untuk mendapatkan sebanyak-banyak informasi dari alam yang dapat membantu memudahkan hidup masyarakat. Oleh karena itu komunikasi menjadi kunci dalam menyampaikan
temuan. Intan mengakui pada awalnya dia jatuh bangun memperbaiki cara dia mengkomunikasikan temuannya. “Saya dibilang terlalu teknis,” kata Intan yang duduk sebagai Direktur Komunikasi di
Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI). Komunikasi itu adalah seni, katanya. Intan aktif di sosial media dan berinteraksi dengan _followers_-nya. Dia mendapati media sosial adalah cara yang
bagus untuk mengetahui apa yang masyarakat awam ingin ketahui dari sains dan dari dia sebagai seorang ilmuwan. “Sains untuk sains, pemangku kebijakan, dan pembuat kebijakan” demikian
deskripsi pendek yang ditulis Intan di profil akun instagram miliknya yang ternyata lebih dari sekedar kata-kata indah. Setelah ilmu dan keilmuannya, Intan menganggap kemampuan dalam
mengkomunikasikan sains dan temuannya kepada pemangku kebijakan dan pembuat kebijakan serta masyarakat non-sains yang lebih luas adalah hal yang sungguh penting. “Ketika kita berbicara
dengan _policy makers_ [pembuat kebijakan], ya kita harus berada di sepatu mereka. Pembuat kebijakan tidak akan tertarik dengan detail, mereka akan tertarik dengan apa yang mereka bisa
lakukan dan membutuhkan rekomendasi,” katanya. Berbicara dengan kalangan non-sains juga bisa menjadi sumber informasi baru untuk Intan. Katanya, hal ini menimbulkan simbiosis mutualisme.
Misalnya, ada pertanyaan dari wartawan dan ternyata pertanyaan itu belum menjadi bagian dari penelitiannya. “Malah bisa jadi bahan untuk riset selanjutnya.”