Terapi plasma konvalesen populer dalam pengobatan covid-19, benarkah memiliki dasar yang kredibel?
- Select a language for the TTS:
- Indonesian Female
- Indonesian Male
- Language selected: (auto detect) - ID

Play all audios:

Penggunaan plasma konvalesen untuk pengobatan pasien COVID-19 di Indonesia makin banyak di tengah belum ditemukannya obat “beneran” dan lambatnya vaksinasi. Walau ada sejumlah riset
menyatakan terapi itu bermanfaat, tak sedikit pula peneliti yang berkesimpulan terapi plasma tak ada gunanya. Riset lainnya menyatakan plasma konvalesen diduga memiliki potensi untuk
mengobati pasien COVID-19 dan boleh tetap digunakan tapi dengan syarat ketat. Beberapa negara di Uni Eropa dan Amerika Serikat telah mengizinkan penggunaan plasma konvalesen COVID-19 sebagai
produk dalam pantauan khasiat obat (uji klinis) untuk pasien COVID yang kondisinya kritis. Walau pertengahan Januari lalu Wakil Presiden Ma'ruf Amin mencanangkan gerakan nasional donor
darah konvalesen plasma, penggunaan terapi ini harus ketat mengikuti standar Organisasi Kesehatan Dunia. SEJARAH PLASMA KONVALESEN Plasma konvalesen (_convalescent plasma_) adalah plasma
darah pasien COVID-19 yang telah sembuh dan mengandung antibodi khusus yang mampu melawan infeksi COVID-19. Plasma ini digunakan untuk obat saat epidemi influenza Spanyol 1918, dan pandemi
polio dan campak pada 1916 . Plasma ini juga dipakai obat penyakit infeksi virus yang menyebabkan saluran pernapasan berat (SARS) di Hong Kong (2003), Ebola di Afrika beberapa tahun lalu.
Sejarah menunjukkan plasma konvalensen dapat diterima dengan baik dalam pengobatan infeksi dan penyembuhannya seringkali cepat. Sebagai contoh, penyembuhan pada pnemonococus pnemonia,
bakteri yang umum menyebabkan radang paru paru dan otak, lebih cepat sembuh pakai plasma konvalensen dibandingkan penisilin. Namun pada 1990-an terapi ini pada penyakit radang paru
ditinggalkan karena ditemukan antibiotik. Ada juga kekhawatiran bahwa terapi ini dapat menyebabkan penularan hepatitis B saat transfusi plasma konvalesen. MENGAPA KINI POPULER LAGI Karena
penyakit COVID belum ada obatnya dan angka kematian begitu tinggi, sebagian ahli medis melirik lagi terapi plasma konvalesen. Para ahli medis menyebut terapi plasma konvalesen ini sebagai
“terapi antibodi pasif”, karena pasien akan menerima antibodi dari plasma darah orang lain. Melalui antibodi ini tubuh diharapkan dapat menghambat virus yang masuk. Semakin banyak titer atau
konsentrasi larutan antibodi yang terkandung dalam konvalensen plasma, maka semakin baik penyembuhan pasien. Namun, sampai saat ini belum ada kepastian berapa dosis yang baku titer antibodi
donor plasma yang terbaik untuk terapi. Jumlah titer plasma dan metode pemberian di berbagai negara juga bervariasi. Standar minimal titer antibodi yang dikeluarkan Palang Merah Indonesia,
misalnya, lebih dari 1:160. Namun Badan Pengawas Obat dan Makanan di Eropa justru merekomendasikan pemberian plasma dari donor dengan titer antibodi lebih dari 1:320 dan di Cina lebih dari
1:640. KADAR EFEKTIVITAS Ada beberapa studi terbaru yang menjadi dasar rekomendasi WHO per 17 Februari 2021. Mereka menyebutkan bahwa bukti definitif dari keamanan dan efikasi plasma
konvalesen ini masih kurang. Kemudian riset dari Italia dan India menunjukkan terapi konvalesen plasma tidak memiliki khasiat kesembuhan pada pasien COVID 19. Data Palang Merah Kanada per
Februari 2021 menunjukkan bahwa terapi plasma konvalesen tidak menunjukkan bukti secara ilmiah tentang keefektifan terapi. Setelah itu pemerintah Kanada baru mau melanjutkan mengumpulkan
donor plasma konvalesen jika ada permintaan dari Kementerian Kesehatan. Demikian juga keputusan Badan Pengawas Makanan dan Minuman (FDA) Amerika Serikat. Pada 4 Februari 2021 Amerika
merevisi kebijakan mereka. Di sana terapi plasma konvalesen dengan titer antibodi yang tinggi saja yang digunakan. Itu pun untuk pasien yang dirawat sakit dengan kasus saat penyakit masih
tahap awal dan pasien dengan gangguan imunitas (pasien yang memiliki gangguan dalam memproduksi antibodi respons sendiri). Di Amerika, titer antibodi yang rendah ternyata tidak dapat efektif
mengobati COVID-19. Demikian juga di Inggris. Universitas Oxford yang menguji klinis penggunaan plasma konvalesen menyatakan penggunaan plasma tidak menurunkan angka kematian pasien yang
dirawat di rumah sakit. Hal ini ditunjang oleh data 1.873 kematian dari 10.400 pasien pengobatan plasma konvalesen yang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pada kelompok yang
diobati plasma konvalesen, 18% pasien meninggal dalam 28 hari meninggal. Sama halnya dengan kelompok dengan terapi tanpa plasma konvalesen. Namun demikian, ada juga penelitian di Cina
terkait plasma konvalesen yang memperkirakan dapat menyembuhkan penerima plasma. Penelitian di Amerika Serikat melalui analisa statistik dari beberapa uji klinis dari _database_ yang cukup
besar dan telah dilengkapi protokol pelaksanaannya menunjukkan manfaat kesembuhan pada pasien dengan terapi plasma konvalesen. Namun, riset yang menggunakan eksperimen ini tidak menggunakan
kelompok kontrol. Sehingga kita tidak bisa membandingkan perbedaan hasil antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Sebuah studi yang melibatkan 20.000 pasien di Amerika dengan
pemberian plasma konvalesen melaporkan rendahnya efek samping dari pemberian plasma. Data yang diperbarui ini memberikan bukti kuat bahwa transfusi plasma cukup aman bagi pasien yang dirawat
di rumah sakit dengan COVID-19. Dari studi-studi yang dirujuk oleh WHO cukup jelas bahwa plasma konvalesen adalah terapi uji coba yang masih harus dievaluasi melalui uji klinis dengan
menggunakan kelompok kontrol untuk mendapatkan konfirmasi efektifitasnya, baik secara klinis maupun statistik. REKOMENDASI WHO DAN FDA Panduan WHO edisi revisi ketiga menegaskan bahwa plasma
konvalesen dapat digunakan untuk obat pasien COVID sepanjang beberapa syarat dapat dipenuhi. Pertama, plasma konvalesen harus disiapkan di Unit Transfusi Darah (UTD) yang dapat menjamin
mutu produk . Di Indonesia, penyedia transfusi darah adalah Palang Merah Indonesia (PMI). Penjaminan mutu dapat dilihat saat enam unit PMI di Pulau Jawa telah mendapat sertifikasi Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Kedua, kriteria penerimaan donor. WHO menyatakan pendonornya adalah pasien COVID-19 yang telah sembuh dan terkonfirmasi
negatif ditunda sampai 14 hari hingga benar-benar tidak ada gejala COVID. Plasma konvalesen donor yang diambil juga terbukti mengandung titer antibodi yang tinggi. Karena itu, pendonor tidak
boleh didapatkan dari individu yang menerima imunoterapi (perangsang kekebalan tubuh) COVID atau vaksin COVID. Ketiga, plasma konvalensen didapatkan dari laki laki. Boleh juga dari
perempuan dengan syarat pendonor belum pernah hamil atau sudah dites reaksi penolakan kekebalan tubuh dengan hasil negatif sejak kehamilan terakhir. Keempat, pendonor juga wajib mengikuti
uji infeksi menular lewat tranfusi darah (IMLTD). Adapun kriteria penerima plasma adalah pasien COVID-19 yang memiliki gejala berat dan kritis dan diutamakan pada permulaan gejala sedini
mungkin. Terapi konvalesen plasma tidak dapat diberikan ketika terdapat riwayat alergi terhadap produk plasma, kehamilan, perempuan menyusui, penyakit pengumpulan darah dan gagal jantung
berat dengan risiko kelebihan cairan. Idealnya produksi plasma konvelesen dilakukan dengan pemisahan plasma darah (plasmapheresis) untuk menghindari kehilangan sel darah merah yang tidak
diperlukan dan mendapatkan volume plasma maksimum. Namun dengan pengambilan darah lengkap dalam jumlah sebanyak 450 mililiter juga masih boleh digunakan. Dari uraian di atas cukup jelas
bahwa penggunaan terapi plasma konvalesen harus berdasarkan pertimbangan matang dan cermat. Sebab, data-data terkait efektivitas dan keamanan plasma konvalesen umumnya masih terbatas dan
sebagian masih dalam fase uji klinis.