Terasi indonesia lebih nikmat dari terasi negara lain, punya potensi ekspor tapi butuh strategi
- Select a language for the TTS:
- Indonesian Female
- Indonesian Male
- Language selected: (auto detect) - ID

Play all audios:

Terasi merupakan bumbu tradisional asli Indonesia yang “harum” namanya tidak hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri. Terasi adalah produk fermentasi hasil laut, seperti udang kecil
(rebon), ikan kecil, atau campuran binatang kecil hasil tangkapan nelayan, baik dengan proses penggaraman maupun tanpa penggaraman. Sebagai produk fermentasi, terasi terbentuk akibat adanya
pertumbuhan mikrob secara spontan yang menyebabkan terbentuknya asam amino, asam lemak, dan senyawa lain yang memberikan aroma yang khas. Penggunaannya sudah dikenal oleh hampir seluruh
masyarakat Indonesia, terutama bagi yang menyukai sambal. Sambal terasi bahkan menjadi kuliner yang paling digemari oleh masyarakat Indonesia. Di tingkat internasional, selain dikenal
sebagai pasta fermentasi udang yang terlalu menyengat oleh beberapa _chef_ internasional, terasi Indonesia dikenal mempunyai keunggulan cita rasa. Dengan potensi ini, sebagai peneliti yang
fokus pada pembuatan pangan fermentasi, seperti keju, yogurt, dan tempe, saya melihat perlu adanya strategi peningkatan mutu terasi Indonesia sehingga bisa menjadi komoditi ekspor yang dapat
diandalkan. Saya sedang menulis sebuah bab tentang terasi di sebuah buku tentang bioteknologi makanan yang akan diterbitkan oleh penerbit internasional terkenal Taylor & Francis .
POTENSI TERASI INDONESIA Produk terasi juga ditemukan di negara lain. Ada _belacan_ di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura , _nappi_ di Bangladesh, _kapi_ di Thailand, _ngapi seinsa_
di Kamboja, _bagoong alamang_ di Filipina, _mam ruoc_ atau _mam tom_ di Vietnam, _shiokara_ di Jepang, _sae woo jeot_ di Korea Selatan, dan _xiajiang_ di Cina. Dibandingkan produk terasi
dari negara lain, terasi Indonesia memiliki kadar peptida yang berperan penting dalam meningkatkan cita rasa hingga lima kali lebih tinggi. Penyebabnya di balik tingginya kadar peptida ini
masih perlu diteliti lebih lanjut. Namun data awal menunjukkan kandungan protein dalam terasi Indonesia paling tinggi dibandingkan terasi dari Filipina dan Cina. Protein ini dapat diubah
oleh mikrob fermentasi menjadi peptida _γ-Glutamyl-Valyl-Glycine_ yang mampu meningkatkan citarasa terasi. Perbedaan kandungan peptida tersebut juga dapat dipengaruhi oleh jenis bahan baku,
kondisi fermentasi, dan keragaman jenis mikrob. _Strain_ isolat bakteri asam laktat halofilik (suka kadar garam tinggi), yaitu _Tetragenococcus muriaticus_, yang ditemukan dalam terasi
Cirebon tidak menghasilkan histamin. Histamin termasuk senyawa yang dapat menimbulkan keracunan ketika dikonsumsi dalam jumlah banyak. Selain itu, terasi Indonesia juga mengandung bakteri
_Virgibacillus salexigens_ yang dapat menghasilkan senyawa bakteriosin. Artinya, terasi menjadi aman dikonsumsi karena secara alami terdapat peptida bakteriosin yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri patogen selama penyimpanan. Gen penyandi senyawa bakteriosin tersebut dapat direkayasa agar dapat dihasilkan bakteriosin dalam jumlah besar yang berpotensi menjadi bahan
pengawet alami pengganti bahan pengawet sintetik untuk pangan. Beberapa perajin lokal terasi Indonesia mengekspor produknya. Contohnya adalah terasi instan “Juwana” yang diproduksi di
Kabupaten Pati, Jawa Tengah, sudah diekspor ke Australia, Kanada, dan Amerika Serikat. Selain itu, banyak juga dijual di kota-kota besar di Pulau Jawa dan Batam. Terasi Toboali, Bangka
Belitung, juga dikenal sebagai terasi udang dengan kualitas baik yang sudah diekspor ke mancanegara. Terasi Singkawang, Kalimantan Barat sudah diekspor ke Taiwan, Hong Kong, Malaysia,
Singapura, Thailand, dan Dubai sejak tahun 2000. Begitu pula dengan terasi dari daerah Bagansiapi-api, Riau, yang sudah diekspor ke Malaysia dan Singapura. Jumlah total ekspor terasi belum
signifikan. Misalnya, jumlah ekspor terasi Riau baru mencapai sekitar 10-15 ton setiap kali keberangkatan dan biasanya dalam setahun bisa mencapai 6 kali pengiriman. Untuk itu diperlukan
beberapa strategi untuk meningkatkan daya saing terasi Indonesia. STRATEGI PENINGKATAN MUTU TERASI INDONESIA Proses pembuatan terasi di Indonesia masih tradisional dan melibatkan proses
fermentasi spontan yang berlangsung selama minimal dua minggu. Proses fermentasi spontan yang tidak terkontrol tersebut dan juga kontaminasi mikrob dari lingkungan sekitar dapat menyebabkan
pertumbuhan berbagai mikrob yang tidak diinginkan. Hal ini dapat menurunkan mutu dan mempengaruhi keamanan produk terasi dari setiap produksi. Padahal bila diproduksi secara baik dan
konsisten, terasi berpotensi menjadi komoditas ekspor bernilai tinggi dan memiliki perlindungan dari pemerintah, sama halnya seperti keju-keju Prancis yang dilindungi dan dijamin keasliannya
dengan sistem _Appellation d’Origine Contrôlée_ (AOC). Sistem AOC dibuat oleh pemerintah Prancis untuk melindungi keaslian keju dan produk-produk lainnya di Prancis dengan memperhatikan
proses produksinya. Sebagai contoh, keju yang mendapat pengakuan AOC sebagai keju “Cantal” harus terbuat dari susu yang diperah pada musim dingin dari sapi Salers di pegunungan Cantal di
Auvergne dan diproduksi dengan metodologi spesifik serta diperam selama minimal satu bulan. Indonesia bisa mengadopsi sistem tersebut untuk menjamin keaslian dan mutu terasi dari Indonesia.
Ada tiga strategi lainnya untuk meningkatkan mutu terasi Indonesia. STRATEGI PERTAMA adalah penggunaan bahan baku yang segar dan seragam. Udang atau ikan yang akan dibuat menjadi terasi
dipilih yang berukuran sama, dipisahkan dari bahan pengotor, seperti serangga atau kerang, dan langsung diolah ketika sampai di pesisir. Penambahan garam sebaiknya dilakukan segera setelah
udang atau ikan ditangkap untuk membantu mencegah kebusukan dalam perjalanan kembali ke pesisir. STRATEGI KEDUA adalah penggunaan _starter_ atau mikrob yang sengaja ditambahkan ke dalam
bahan pangan untuk mempercepat proses fermentasi dan mengarahkannya untuk menghasilkan produk fermentasi yang diinginkan. Pemilihan _starter_ yang tepat berperan dalam mempercepat proses
fermentasi dan mengarahkannya sehingga terbentuk produk terasi dengan mutu tertentu dan lebih konsisten dalam setiap kali produksi. Penggunaan _starter_ juga perlu didukung dengan pengawasan
proses fermentasi yang ketat, kondisi penyimpanan dan penanganan yang tepat dan higienis. Pemahaman tentang proses fermentasi dan pengolahan produk yang baik bagi para peajin terasi juga
perlu ditingkatkan agar dapat mencegah risiko kontaminasi dan meningkatkan keamanan serta mutu produk hasil fermentasi. STRATEGI KETIGA adalah menciptakan kolaborasi antara akademisi,
industri, dan pemerintah. Cara ini diharapkan dapat membantu memecahkan masalah dan tantangan dalam produksi terasi secara tradisional dan menyusun rencana jangka panjang untuk mampu
menciptakan terasi yang tetap mempertahankan keunikan daerahnya masing-masing namun bermutu baik, konsisten, dan aman. Salah satunya adalah peneliti perlu melakukan berbagai penelitian
terkait potensi terasi khas Indonesia. Dengan ketiga strategi ini, Indonesia dapat mendorong peningkatan mutu terasi lokal sehingga bisa menjadi komoditas ekspor yang bersaing.