Cara melawan stigma pada pandemi covid-19: belajar dari epidemi hiv di indonesia
- Select a language for the TTS:
- Indonesian Female
- Indonesian Male
- Language selected: (auto detect) - ID

Play all audios:

Indonesia, negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, telah menjadi sasaran berbagai kritik karena manajemen terhadap penyebaran COVID-19 yang tidak menghargai saran kebijakan dari
para pakar di luar instansi pemerintah. Hal ini berkontribusi pada status Indonesia sebagai negara dengan angka kematian COVID-19 tertinggi di Asia Tenggara. Kegagalan dalam menangani stigma
terkait COVID-19 juga berkontribusi pada lonjakan kasus di Indonesia. Jumlah kasus di Indonesia adalah yang tertinggi kedua di Asia Tenggara. Secara global, kami menyaksikan bagaimana
stigma dapat mempengaruhi komunitas yang terdampak, termasuk di Indonesia, dan bagaimana ketakutan mencegah pelaksaan tes COVID-19. Secara historis, stigma dan diskriminasi juga hadir ketika
epidemi penyakit menular terjadi. Serupa dengan epidemi HIV, kami melihat bagaimana rasa malu dan takut akibat stigma dan diskriminasi dapat mendorong peningkatan penularan COVID-19 dan
mencegah penanganan kesehatan yang vital. RASA MALU DAN TAKUT MEMBANTU MENYEBARKAN PENYAKIT Kematian terkait AIDS menurun di sebagian besar negara, termasuk di negara berkembang, setelah
akses kepada pengobatan anti-retroviral meningkat pada awal tahun 2000. Namun, di Indonesia angka kematian terkait AIDS tidak pernah turun. Jumlah korban telah meningkat sebanyak 60% sejak
tahun 2010. Di antara banyak tantangan yang dihadapi Indonesia dalam epidemi HIV, stigma dan diskriminasi adalah hambatan yang terbesar. Pandemi COVID-19 di Indonesia memiliki tantangan
serupa. Malu, suatu emosi negatif berupa perasaan tidak layak yang berkaitan dengan identitas inti seseorang, adalah konsekuensi khusus dari stigma. Rasa malu membuat orang berperilaku yang
bertentangan dengan kepentingan terbaik mereka. Hal ini mendorong mereka untuk mencari aman di lingkungan dan komunitas yang justru berisiko. Terlepas dari metode penularan dan perbedaan
antara HIV dan COVID-19, keduanya berpotensi fatal. Namun, rasa malu yang timbul bisa lebih berbahaya dibanding ancaman kematian dari kedua penyakit itu sendiri. Respons kesehatan masyarakat
terhadap penyakit menular juga harus mampu mengatasi dan mencegah rasa malu ini. Takut akan penganiayaan dan respons negatif seperti kekerasan, penelantaran, dan putusnya hubungan karena
stigma yang berkaitan dengan HIV membuat orang menghindari mengambil tes atau menjalani pengobatan. Demikian pula jika seseorang mengetahui bahwa diagnosis COVID-19 yang positif untuk diri
mereka atau anggota keluarga dapat berdampak negatif atau mengisolasi mereka dari komunitas atau bahkan mencegah mereka mencari nafkah, ketakutan ini dapat menghambat mereka menjalani tes.
Warga yang bertempat tinggal di Penjaringan, Jakarta Utara, misalnya, “mengurung diri saat tes usap COVID-19 dilakukan di balai masyarakat mereka”. Mereka melakukan ini karena takut
distigmatisasi dan kehilangan kesempatan untuk mencari nafkah. Stigma sosial telah memperburuk angka HIV pada laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki dan kelompok marginal lainnya.
Stigma ini meningkatkan risiko seperti keengganan mengakses layanan tes dan pengobatan yang akhirnya juga dapat meningkatkan risiko HIV dalam kelompok-kelompok tersebut. Pada April, seorang
pasien yang didiagnosis dengan coronavirus di Indonesia dilaporkan menjadi sasaran dari sindiran kejam. Sindiran ini menyatakan bahwa dia tertular melalui pekerjaan sebagai tenaga kerja
seks. Ketakutan publik seringkali menimbulkan stigma terhadap mereka yang terinfeksi sebagai bentuk mekanisme perlindungan. Menyalahkan mereka yang terinfeksi, meski tanpa dasar, dapat
membuat seseorang merasa lebih baik dan melupakan risiko mereka sendiri. Hal serupa juga ditemukan pada populasi yang terkena tuberkulosis, kusta, dan Ebola. INFORMASI YANG SALAH MEMPERBURUK
KEADAAN Mitos, kesalahan informasi, dan penyebaran berita palsu memperburuk masalah ini. Sebuah laporan oleh Global Fund menyoroti bahwa di Surabaya, Jawa Timur, pasien yang datang untuk
tes HIV harus terlebih dulu meminta untuk dimaafkan oleh petugas kesehatan karena dianggap telah berdosa. Banyak orang yang hidup dengan HIV diminta untuk menunggu berjam-jam untuk menjalani
pengobatan, hal ini menyiratkan bahwa mereka tidak layak mendapatkan perawatan kesehatan. Dalam satu studi tentang pemahaman publik dan kesalahan informasi tentang COVID-19 di Indonesia,
28% dari 530 responden percaya bahwa COVID-19 adalah senjata biologis yang sengaja dibuat. Seperlima dari total responden juga percaya bahwa berkumur menggunakan air garam atau cuka bisa
membunuh virus tersebut. Para pejabat di Indonesia juga menyarankan metode yang tidak konvensional dan tidak berbasis bukti untuk melawan penyebaran COVID-19, seperti berdoa. Pemahaman yang
sesat bahwa berdoa dapat melindungi seseorang dari COVID-19 tersebut bisa muncul karena buruknya sistem kepemimpinan. Pemerintah dan lembaga yang mendorong keyakinan yang salah tentang
penyakit menular justru bisa ikut menyebarkan stigma. Siklus stigma seperti ini mencegah individu dan komunitas yang terdampak untuk dapat bertahan dan malahan bisa mendorong perkembangan
kesehatan fisik dan mental mereka yang buruk Strategi kesehatan masyarakat yang melanggengkan stigma tidak akan berhasil dalam mengendalikan wabah penyakit menular apa pun. Kekuatan dan
mekanisme struktural harus digunakan untuk mendidik orang dan menghasilkan perubahan perilaku yang positif. STRATEGI KESEHATAN MASYARAKAT Kita dapat belajar dari strategi yang terbukti dapat
mengurangi stigma terkait HIV untuk mengelola COVID-19. Negara-negara yang secara strategis bisa mengurangi stigma kelembagaan terkait HIV telah menunjukkan jumlah tes yang meningkat dan
pengobatan yang lebih baik. Hasilnya, infeksi HIV baru berkurang. Tren ini telah diamati, misalnya, di negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam . Thailand telah menjadi pelopor dalam
mengurangi stigma dan diskriminasi terkait HIV dalam layanan kesehatan mereka melalui respons sistem kesehatan yang inovatif. Cara mereka melibatkan sebuah strategi untuk mengurangi stigma
dan diskriminasi berdasarkan alat ukur global. Strategi tersebut mencakup sistem pemantauan, tindakan berdasarkan bukti di fasilitas kesehatan, dan keterlibatan masyarakat di setiap elemen
yang ada. Thailand juga lebih berhasil dibanding kebanyakan negara di Asia Tenggara dalam mencegah kematian dan kasus COVID-19 dengan mengadopsi pendekatan “melibatkan seluruh masyarakat”.
Pendekatan ini memungkinkan pemahaman dan tanggapan yang sesuai dengan kebutuhan populasi yang rentan. Untuk melawan tingkat infeksi COVID-19 yang terus meningkat, upaya kesehatan masyarakat
harus bertujuan untuk memahami kebutuhan, prioritas, dan masalah populasi dalam mencegah munculnya stigma. Populasi yang paling rentan tidak boleh ditinggalkan. Pemerintah Indonesia harus
belajar dari kebijakan yang berhasil dalam menekan stigma HIV untuk menangani masalah serupa dalam pandemi COVID-19. Penting sekali bagi badan pemerintahan dan pembuat kebijakan untuk
mencegah kesalahan informasi dan mengikuti standar internasional dalam penyediaan data. Mereka juga harus dapat menerjemahkan data agar bisa dipahami publik untuk mengurangi ketakutan dan
mendorong kepatuhan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menerapkan strategi komunikasi risiko yang tidak hanya mudah dipahami masyarakat tapi juga mencegah penyebaran “berita palsu”. Dalam
ranah kesehatan masyarakat, pemerintah harus menyediakan informasi yang jelas, kuat, dan berbasis bukti; mempromosikan strategi kesehatan yang adil; mengurangi stigma dan mendorong ikatan
yang kuat dalam komunitas. Dengan membangun kepercayaan dan keyakinan publik, langkah-langkah ini akan lebih berhasil. _Ayesha Muna menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris_.