Tips memantau keseriusan negara dalam upaya memangkas emisi: lihatlah rencana pengerukan bahan bakar fosilnya
- Select a language for the TTS:
- Indonesian Female
- Indonesian Male
- Language selected: (auto detect) - ID

Play all audios:

Arab Saudi dan Australia – dua negara produsen bahan bakar fosil terbesar di dunia — akan mengumumkan target emisi terbarunya dalam konferensi iklim global (COP26) tahun ini di Glasgow,
Skotlandia. Perhelatan ini menuntut kedua negara tersebut untuk berkomitmen mengurangi emisi hingga ke titik nol pada tahun 2050 – meskipun keduanya diperkirakan akan terus mengekspor bahan
bakar fosil selama beberapa dekade mendatang. Pemimpin dan pemerintah dari negara-negara penghasil bahan bakar fosil menganggap pertemuan iklim yang dihelat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
ini sebagai ajang pencitraan semata. Mereka bisa turut serta membahas komitmen untuk masa depan yang hijau dan bersih, di saat mereka punya peran yang tidak proporsional dalam memperparah
krisis iklim. Para ahli akan kesulitan membedakan fakta dan fiksi atas komitmen tersebut – apalagi warga biasa. Pasalnya, negosiasi iklim PBB hanya menghitung emisi gas rumah kaca (GRK) yang
dihasilkan di dalam negeri. Tidak ada perhitungan emisi dari bahan bakar fosil yang mereka ekspor, karena ini diperhitungkan sebagai emisi negara pengimpor. Dengan demikian, peran besar
dari negara eksportir seperti Arab Saudi (minyak dan gas alam) dan Australia (batubara dan gas alam) dalam memicu pemanasan global tidak tercermin secara akurat dalam diskusi tersebut. Tidak
seperti beberapa kesepakatan internasional, seperti yang mengurangi penyebaran senjata nuklir, konferensi iklim PBB bertujuan mengawasi sesuatu yang hitung-hitungannya sangat mudah keliru.
Senjata nuklir dan fasilitas produksinya terlihat nyata, penting, dan banyak. Tapi gas rumah kaca ada dimana-mana, tidak terlihat, dan terbentuk oleh berbagai proses yang berbeda – dari
hasil kotoran sapi hingga produksi besi. Emisi GRK yang dihasilkan dari beraneka sumber terus berembus ke atmosfer tanpa henti. Tapi, proses alamiah (yang berasal dari hutan dan tanah) juga
menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer. Proses penyerapan karbon secara alami ini dikenal sebagai _sink_. Para ilmuwan dan pemerintah, misalnya, terus berbicara tentang emisi bersih
GRK. Mereka menghitung _net sink_ sebagai emisi yang dihasilkan dikurangi penyerapannya. Upaya memantau jumlah keseluruhan CO₂ di atmosfer global relatif mudah bagi ilmuwan. Itulah sebabnya
mereka memiliki gambaran yang jelas tentang betapa buruknya dunia dalam menangani krisis iklim. Namun, di sisi lain, hitungan yang memuat banyak aspek ini – termasuk sumber emisinya mana
saja hingga tingkatan _sink_-nya sebesar apa – juga memuluskan upaya pengaburan “dosa” sebenarnya yang dilakukan pemerintah dan perusahaan terhadap perubahan iklim. Misalnya, negara-negara
dengan banyak lahan tak berpenghuni, seperti Australia, sangat mahir memainkan sistem penghitungan emisi bersih (_net emission_) CO₂. Australia mendapat pujian untuk capaian jumlah karbon
yang tersimpan di hutan. Akhirnya, hal itu menampilkan kesan bahwa mereka telah menurunkan emisi nasionalnya, meski emisi dari pembakaran bahan bakar fosil mereka telah meningkat selama
beberapa dekade. Nah, salah satu cara jitu untuk mengetahui apakah seorang pejabat pemerintah mengelabui Anda ketika menggaungkan dokumen iklimnya adalah dengan melihat ke sisi hulu; apakah
mereka memproduksi batu bara, minyak, atau gas yang pada akhirnya menyebabkan sekitar tiga perempat emisi global? Jika iya, apa langkah mereka untuk mengatasinya? Jauh lebih mudah memantau
dan memverifikasi bahan bakar fosil yang diekstraksi ketimbang emisi gas rumah kaca. Jumlah sumber penghasil bahan bakar tersebut tak banyak, dan sebelumnya sudah diukur oleh banyak pihak
untuk berbagai tujuan. Misalnya, pelanggan membutuhkan bukti bahwa pengiriman yang mereka terima dari pemasok sudah sesuai kontrak. Sedangkan pemerintah mengumpulkan informasi produksi untuk
menilai kepatuhan perusahaan terhadap sejumlah persyaratan, kewajiban pajak, maupun pungutan lainnya. Infrastruktur dan proyek bahan bakar fosil bahkan lebih mudah untuk dipantau. Anjungan
minyak, jaringan pipa gas, dan tambang batu bara seluruhnya berukuran besar, sehingga mudah dilihat dari daratan maupun melalui satelit. Fitur-fitur ini semestinya memudahkan para pemantau
untuk meminta para negara penghasil bahan bakar fosil memperhitungkan kontribusi mereka terhadap pemanasan global, ketimbang mengukur jumlah emisi bersih nya. KESENJANGAN PRODUKSI BAHAN
BAKAR FOSIL Laporan terbaru dari Badan PBB untuk Program Lingkungan (UNEP) bersama lembaga penelitian lainnya menemukan bahwa berbagai negara berencana memproduksi lebih dari dua kali jumlah
bahan bakar fosil pada tahun 2030 ketimbang fokus membatasi pemanasan hingga 1,5° C (diukur sejak masa pra-industri) secara konsisten -– sebagai tujuan dari Perjanjian Paris. Rencana dan
proyeksi produksi bahan bakar fosil dari seluruh negara bahkan melampaui hampir 10% dari batasan produksi bahan bakar fosil yang tercantum dalam janji iklim mereka sendiri. Yang mengejutkan,
pemerintah bak menumpahkan bensin ke api. Negara-negara G20 telah menyalurkan lebih dari US$ 300 miliar (sekitar Rp 4.464 triliun) dana untuk mendukung produksi bahan bakar fosil, seperti
subsidi dan keringanan pajak, sejak awal pandemi. Jumlah ini sekitar 10% lebih banyak daripada yang mereka investasikan dalam energi bersih. Laporan tersebut menggaungkan berbagai seruan
serupa baru-baru ini yang meminta negara-negara di dunia supaya lebih transparan terkait produksi bahan bakar mereka, termasuk dukungan keuangan dan investasi lainnya, di dalam maupun luar
negeri. Penelitian dari sejumlah organisasi sebenarnya sudah menguak berbagai informasi terkait hal ini. Namun, datanya masih kurang lengkap, tak konsisten, dan terpisah-pisah. Pemerintah
dapat melengkapi informasi itu dengan membuka seluruh rencana, pendanaan, dan proyeksi produksi bahan bakar fosil, serta bagaimana mereka berniat untuk mengelola transisi yang berkeadilan
dari batu bara, minyak, dan gas. Perusahaan bahan bakar fosil juga mesti membuka seluruh rencana pengeluaran dan infrastrukturnya, jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan produk mereka,
dan risiko keuangan yang mengancam bisnis mereka akibat perubahan iklim. Sejumlah organisasi lingkungan tengah bekerja untuk mengembangkan suatu gambaran global yang lebih jelas tentang
sumber-sumber dan seluruh siklus produksi-distribusi bahan bakar fosil. Jadi, jika pemerintah gagal menunjukkan secara jelas kegiatan para produsen bahan bakar fosil dan peran pemerintah di
dalamnya, maka namanya bisa tercatut dan dipermalukan dalam laporan organisasi lingkungan itu. Pembicaraan terkait upaya pembersihan emisi gas rumah kaca justru menjadi karpet merah bagi
korporasi produsen bahan bakar fosil dan pemerintah untuk membual dalam negosiasi iklim. Jika kita ingin memastkan supaya para lembaga dan manajer humas tiap negara tak melahap gaji buta,
maka pembahasan dalam negosiasi tersebut harus dialihkan ke persoalan produksi bahan bakar fosil. ------------------------- ARTIKEL INI ADALAH BAGIAN DARI LIPUTAN THE CONVERSATION MENGENAI
COP26 (KONFERENSI IKLIM GLASGOW) OLEH PARA AHLI DARI SELURUH DUNIA. _Di tengah gelombang berita dan cerita iklim yang meningkat, The Conversation hadir untuk menjernihkan suasana dan
memastikan Anda mendapatkan informasi yang dapat dipercaya. MORE._ ------------------------- _Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris._